Sabtu, 14 Juli 2012

SISTEM KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA



Pemerintah secara langsung atau tidak memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut1.Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Sesuai dengan semangat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Maka dalam penyusunan dan penetapan APBN dan APBD terlihat ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.
Disini anggaran merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dalam proses belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD, yang mana hal inilah menimbulkan banyak problematika dalam penerapanya dan teknis dilapangan.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja /hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD. Perlunya efektivitas sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) berupa peraturan-peraturan teknis yang harus tertib, menjadi tanggungjawab menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota2.
Munculnya permasalahan lagi dengan hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat. Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional.
Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah.
Pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Bagaimana dengan Pelaksanaan APBN dan APBD, setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah.
Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output).
Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
ANALISIS
Birokrasi Keuangan di Indonesia dimulai dengan kelahiran Paket Undang Undang (UU) Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Dengan keluarnya paket Undang-undang ini akan mengantisipasi perubahan pengelolaan manajemen keuangan negarayang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan yang dianut secara internasional dan hal tersebut juga akan memberikan pengaruh yang besar dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan secara menyeluruh.
Mengidentifikasi kelemahan manajemen Keuangan Negara yang lama sangat dibutuhkan sehingga bisa terjadi perbaikan sistem manajemen, kelemahan-kelemahan tersebut antara lain dibidang penganggaran dimana fungsi perencanaan dan penganggaran masih bersatu, penganggaran dibagi menjadi dua bagian antara anggaran rutin dan pembangunan, penganggaran hanya terfokus pada input, dan Hak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengawas anggaran belum tersedia (hak budget). Dalam bidang Pelaksanaan Anggaran adanya duplikasi pekerjaan karena adanya pemisahan anggaran rutin dan pembangunan, pelaksanaan fungsi perbendaharaan yang masih jauh dari optimal dimana terdapat banyak idle kas pemerintah di perbankan akibat pelaksanaan anggaran.
Dalam bidang pembukuan atau akuntasi dan pertanggungjawaban dimana laporan keuangan hanya dikenal dengan single entry, belum ada yang namanya Standar Akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan serta belum efektifnya pemeriksa fungsional dalam mengaudit keuangan negara akibat kurangnya landasan hukum3.
Reformasi birokrasi untuk keungan negara diterapkan dalam hulu sampai kehilir. Reformasi dibidang perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, sistem penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan kas, piutang, barang milik negara, pelaporan serta pemeriksaan maka perubahan perundang-undangan secara menyeluruh untuk Keuangan Negara, dengan menata kembali sistem penerimaan dan pengeluaran negara, reorganisasi, perubahan mindset pegawai, peningkatan ketrampilan pegawai, peningkatan kesejahteraan untuk para pegawai, serta peningkatan sarana infrastruktur kantor.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menggantikan Indische Comptabiliteitswet, staatsblad 1925 Nomor 448 (ICW), diatur hubungan hukum antar institusi dalam lembaga eksekutif di bidang pelaksanaan Undang-Undang APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 ini juga mengatur sistem pelaksanaan pendapatan dan belanja Negara/Daerah, sistem pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara/daerah, sistem pengelolaan kas, sistem piutang dan utang negara/daerah, sistem akuntansi dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, sistem kerugian negara/daerah, dan sistem pengelolaan badan layanan umum.
Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan4.
Terjadi perubahan paradigma di Kementerian Keuangan dari financial administration ke financial management dengan tema let managers manage serta dibuat sistem pengendalian dengan istilah check and balance mechanism dan diakhir pekerjaan dihasil laporan keuangan akuntansi modern yang sesuai dengan standar internasional.
Fungsi otorisasi dihapuskan, karena telah menjadi bagian hak budget DPR, fungsi ordonansi diserahkan kepada pengguna/kuasa pengguna anggaran kementerian dan lembaga dan fungsi komptabel menjadi wewenang Menteri Keuangan dan dalam penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran yang dikenal dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) memuat unsur-unsur sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, rincian kegiatan, anggaran yang disediakan, rencana penarikan dan pendapatan yang diperkirakan diterima.
SIMPULAN
Dari gambaran diatas, reformasi hukum keuangan negara makin memberikan gambaran bahwa benar-benar terjadi perbaikan hukum keuangan negara secara signifikan Kompleksnya perbaikan-perbaikan yang dilakukan dari sistem keuangan negara, tata kerja lembaga yang menangani keuangan negara serta pengguna anggaran sampai akhir dari sistem keuangan negara yaitu pertanggungjawaban dan laporan keuangan diharapkan reformasi hukum keuangan akan memberikan pengurangan kerugian negara dari korupsi dari kelemahan-kelemahan sistem perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, laporan keuangan serta pertanggungjawaban bisa dikurangi dengan signifikan.








Teori-teori Pembangunan dalam perspektif Teori Modernisasi dan Teori Dependensia (Ketergantungan)



A.   Latar Belakang
a)      Pengertian Pembangunan

Dalam pemahaman sederhana pembangunan diartikan sebagai proses perubahan kearah yang lebih baik, melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Pembangunan dalam sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan ekonomi (economic development). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya peningkatan jumlah dan produktifitas sumber daya, termasuk pertambahan penduduk, disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara serta pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sumitro dalam Deliarnov (2006:89), bahwa proses pembangunan ekonomi harus merupakan proses pembebasan, yaitu pembebasan rakyat banyak dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi, dan pembebasan negara-negara berkembang dari belenggu tata kekuatan ekonomi dunia.
Secara terminologis, di Indonesia pembangunan identik dengan istilah development, modernization, westernization, empowering, industrialization, economic growth, europanization, bahkan istilah tersebut juga sering disamakan dengan term political change. Identifikasi pembangunan dengan beberapa term tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi-interpretable, sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa term lain yang berlainan arti (Moeljarto Tjokrowinoto, 2004). Makna dasar dari development adalah pembangunan. Artinya, serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi masyarakat sebuah kawasan atau negara dengan konsep pembangunan tertentu.

b)      Lahirnya Pembangunan
Dalam perkembangan sejarahnya, terlihat bahwa kapitalisme lahir lebih kurang tiga abad sebelum teori-teori pembangunan muncul. Sehingga, berbagai perdebatan terhadap teori maupun praktek pembangunan sudah berada di dalam alam kapitalisme. Karena itu, tidak mengherankan jika kapitalisme sangat mewarnai teori-teori pembangunan.
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam teori dependensi yang bertolak dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (sentarl dan pinggiran), dengan analisis  utama yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.

c)      Pendekatan Dalam Pembangunan

1.    Teori Modernisasi
a. Sejarah Singkat
Tanggal 20 Januari 1949, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman kali pertama menyitir istilah “developmentalism”. Untuk selanjutnya, ia mempropagandakan istilah under-development bagi negara-negara bekas jajahan agar mampu meredam pengaruh Komunisme-Sosialisme sebagai tawaran ideologi pembangunan, (Stephen Gill, 1993:248)
Teori Modernisasi lahir sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat sebagai wujud respon kaum intelektual atas Perang Dunia II yang telah menyebabkan munculnya negara-negara Dunia Ketiga. Kelompok negara miskin yang ada dalam istilah Dunia Ketiga adalah negara bekas jajahan perang yang menjadi bahan rebutan pelaku Perang Dunia II. Sebagai negara yang telah mendapatkan pengalaman sekian waktu sebagai negara jajahan, kelompok Dunia Ketiga berupaya melakukan pembangunan untuk menjawab pekerjaan rumah mereka yaitu kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan, pendidikan rendah, rusaknya lingkungan, kebodohan, dan beberapa problem lain.
Oleh karena adanya kepentingan tersebut, maka negara adidaya, khususnya Amerika Serikat mendorong kepada ilmuwan sosial untuk mempelajari permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara dunia ke tiga tersebut. Maka muncullah beberapa teori-teori pembangunan dengan berbagai istilahnya dan berbagai alirannya dalam perspektif beberapa ahli yang mengemukakannnya. Permasalahan di dunia ketiga tersebut salah satunya di kaji melalui Teori Modernisasi. Teori modernisasi di bahas oleh beberapa sosiolog dengan perspektif yang berbeda-berbeda. Yang termasuk teori modernisasi klasik antara lain:
-          Teori Evolusi yang menggambarkan perkembangan masyarakat (perubahan social) sebagai gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari masyarakat primitive menuju masyarakat modern. Dalam pandangan teori evolusi, masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan bentuk masyarakat yang “dicita-citakan”.
-          Teori Fungsionalisme dari Talcon Parson, yang bernaggapan bahwa masyarakat tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling bergantung. Dan setiap organ tersebut memilki fungsi yang jelas dan khas. Demikian pula dalam kelembagaan masyarakat, setiap elemen masyarakat (lembaga) melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan msayarakat tersebut.
-          Teori Diferensiasi Struktural dari Smelser yang beranggapan bahwa modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi structural. Dengan proses modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih khusus.
-          Teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi dari Rostow yang menyatakan bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu dari mulai tahap masyarakat tradisional sampai pada tahap konsumsi masa tinggi. Rostow menekankan adanya tahapan kritis dari pertumbuhan ekonomi masyakarat, yaitu adanya tahap tinggal landas.
Pandangan (asumsi) teori modernisasi klasik terhadap modernisasi antara lain:
1)      Modernisasi merupakan proses bertahap
2)      Modernisasi juga merupakan proses homogenisasi.
3)      Dalam wujudnya, modernisasi terkadang dianggap sebagai proses Eropanisasi atau Amereikanisasi, atau yang lebih populer werternisasi (modernisasi sama dengan dunia Barat).
4)      Modernisasi dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur.
5)      Modernisasi merupakan perubahan progresif.
6)      Modernisasi memerlukan waktu panjang.

Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai masalah internal.
Teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan.
Ada banyak variasi dan teori yang tergabung dalam kelompok teori ini antara lain adalah:
1.Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni: pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.
2.Teori yang menekankan aspek psikologi individu. Tokohnya adalah McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.
3.Teori yang menekankan nilai-nilai budaya mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama.  Satu masalah pembangunan bagi Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber penyebab utama dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh Calvin.
4.Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai. Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:
  1. Masarakat tradisional=belum banyak menguasai ilmu pengetahuan.
  2. Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai posisi pra-kondisi untuk lepas landas.
  3. Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.
  4. Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.
5.Teori yang menekankan lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang membahas faktor-faktor non-ekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.
6.Teori ini menekankan lingkungan material. Dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan David H. Smith.
b. Asumsi Dasar Modernisasi
Secara etimologis, ada beberapa tokoh yang mengajukan pendapat tentang makna modernisasi. Everett M. Rogers dalam “Modernization Among Peasants: The 10 Impact of Communication” menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.
Cyril E. Black dalam “Dinamics of Modernization” berpendapat bahwa secara historis modernisasi adalah proses perkembangan lembaga-lembaga secara perlahan disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat dan menimbulkan peningkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia. Dengan pengetahuan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk menguasai lingkungannya dan melakukan revolusi ilmiah.
Daniel Lerner dalam “The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East” menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu trend unilateral yang sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional menjadi partisipan. Marion Ievy dalam “Modernization and the Structure of Societies” juga menyatakan bahwa modernisasi adalah adanya penggunaan ukuran rasio sumberdaya kekuasaan, jika makin tinggi rasio tersebut, maka modernisasi akan semakin mungkin terjadi.
Dari beberapa definisi tersebut, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah upaya tindakan menuju perbaikan dari kondisi sebelumnya. Selain upaya, modernisasi juga berarti proses yang memiliki tahapan dan waktu tertentu dan terukur.
Sebagaimana sebuah teori, Modernisasi memiliki asumsi dasar yang menjadi pangkal hipotesisnya dalam menawarkan rekayasa pembangunan. Pertama, kemiskinan dipandang oleh Modernisasi sebagai masalah internal dalam sebuah negara (Arief Budiman, 2000:18).
Kemiskinan dan problem pembangunan yang ada lebih merupakan akibat dari keterbelakangan dan kebodohan internal yang berada dalam sebuah negara, bukan merupakan problem yang dibawa oleh faktor dari luar negara. Jika ada seorang warga yang miskin sehingga ia tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya, maka penyebab utama dari fakta tersebut adalah orang itu sendiri dan negara dimana orang tersebut berada, bukan disebabkan orang atau negara lain. Artinya, yang paling pantas dan layak melakukan penyelesaian masalah atas kasus tersebut adalah orang dan negara dimana orang itu berada, bukan negara lain.
Kedua, dari segala problem adalah kemiskinan, pembangunan berarti perang terhadap kemiskinan. Jika pembangunan ingin berhasil, maka yang kali pertama harus dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan dari sebuah negara. Cara paling tepat menurut Modernisasi untuk menghilangkan kemiskinan adalah dengan ketersediaan modal untuk melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat investasi di sebuah negara, maka secara otomatis, pembangunan telah berhasil, (Mansour Fakih, 2002:44-47).
Teori Modernisasi adalah teori pembangunan yang menyatakan bahwa pembangunan dapat dicapai melalui mengikuti proses pengembangan yang digunakan oleh negara-negara berkembang saat ini. Teori tindakan Talcott Parsons 'mendefinisikan kualitas yang membedakan "modern" dan "tradisional" masyarakat. Pendidikan dilihat sebagai kunci untuk menciptakan individu modern. Teknologi memainkan peran kunci dalam teori pembangunan karena diyakini bahwa teknologi ini dikembangkan dan diperkenalkan kepada negara-negara maju yang lebih rendah akan memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor kunci dalam Teori Modernisasi adalah keyakinan bahwa pembangunan memerlukan bantuan dari negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang untuk belajar dari perkembangan mereka. Dengan demikian, teori ini dibangun di atas teori bahwa ada kemungkinan untuk pengembangan yang sama dicapai antara negara maju dan dikembangkan lebih rendah.



2.    Teori Dependensia (Ketergantungan).
Pendekatan terhadap dependensia pertama kali muncul di Amerika Latin. Pendekatan teori dependensia atau pendekatan keterbelakangan lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” secara umum pada pertengahan tahun 1960-an. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan lahirnya teori ini. Pertama, teori ini muncul sebagai perlawanan (tantangan) ilmuwan Amerika Latin terhadap paradigma pembangunan yang didengungkan oleh Barat sampai tahun 1960-an (Nasution, 2002:44). Perlawanan pemikiran ini lebih ditujukan sebagai kritik para ilmuwan terhadap teori modernisasi yang selama itu mereka anggap hanya manisfestasi dari Eropanisasi dan Amerikanisasi. Kedua, teori dependensia muncul sebagai jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin yang dikenal ECLA atau KEPBAL (So, 2000:89). Pada waktu itu (tahun 1950-an), banyak negara Amerika Latin mencoba menerapkan strategi pembangunan yang diprogramkan oleh ECLA melalui program industrialisasi yang berbasis impor. Harapannya adalah, dari program tersebut diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan dan mendorong pembanguan politik yang demokratis. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, terjadi ekspansi ekonomi, pengangguran, inflasi, devaluasi, penurunan nilai tukar mata uang, dan akibat yang lebih buruk adalah pergolakan politik melalui perlawanan-perlawanan rakyat.
Tidak disangka, program ECLA yang tidak lain merupakan penerapan dari teori modernisasi tersebut telah menimbulkan pergolakan. Tumbangnya pemerintahan dan diganti oleh pemerintahan otoriter yang didukung militer telah membangkitkan pemikir-pemikir Amerika Latin untuk mencari paradigma baru yang lebih menitikberatkan pada faktor-faktor dalam negeri, bukan mengharapkan penuh dari luar.
Di sisi lain, keberhasilan revolusi Kuba dan Chili (tahun 1960-an) sebagai negara yang menganut faham sosialisme telah membuka jalan bagi pemikir-pemikir Amerika Latin untuk menata kembali perekonomian negara-negara di dunia ketiga melalui paradigma pembangunan yang tidak berkiblat ke barat dengan teori modernisasinya, melainkan melalui pendekatan baru dengan teori dependensia-nya.
Teori dependensia telah dikembangkan sebagian besar oleh ilmuwan Amerika Latin antara lain: Celso Furtado, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique Cardoso, Oswaldo Sunkel, Enzo Faletto, Marini, dan Andre Gundre Frank serta Paul Baran. Kedua orang terakhir adalah ilmuwan non Amerika Latin yang sama-sama mengembangkan teori dependensia.
Tokoh-tokoh Penganut Teori Dependensia dan Beberapa Pemikirannya
1)      Furtado dan Sunkel (Dipengaruhi oleh ECLA, dan dianggap sebagai pelopor Teori Dependensia)
Penganut teori dependensia yang dianggap paling radikal adalah ekonom Brasil yang bernama Celco Furtado. Pada awalnya ia adalah ekonom yang menganur faham modernisasi yang percaya bahwa masalah utama negara berkembang adalah karena kurangnya modal. Asumsi ini yang mulanya berkembang bagi ekonom yang tergabung dalam program ECLA. Atas dasar itu, umumnya untuk memecahkan masalah negara berkembang adalah dengan satu usulan yaitu yang biasa disebut substitusi impor. Setelah pertumbuhan industri di Brasil pada taun 1950-an, Furtado merasa optimis. Akan tetapi, ternyata pembangunan telah membawa kudeta militer [ada tahun 1964 di Brasil, dimana pada waktu itu definisi pembangunan terlalu menitik beratkan pada pertumbuhan industri. Akibat dari itu, Furtado menjadi kecewa dan pesimis. Ternyata strategi industrialisasi ECLA telah menciptakan ketergantungan negara ketiga pada pihak asing. Menurut Furtado, negara maju ditandai dengan dengan adanya saling tergantung antara “negara” yang kuasa dalam membeli dan investasi yang mengakibatkan naiknya standar hidup tersebut. Dalam hal ini akan tercipta dasar demokrasi industri, yaitu berbagi kekuatan politik akan mampu membatasi kekuasaan para pemilik modal.
Sejak peristiwa kudeta di Brasil itu, Furtado meninggalkan Brasil dan pindah ke Paris untuk menerukan analisis terhadap pertumbuhan ekonomi (pembangunan) di negara Amerika Latin. Hasil pemikirannya membawa usulan bahwa negara berkembang harus mengambil sikap berdikari. Pemerintah hrus berani berjuang merestrukturisasi seluruh ekonomi sehingga teknologi modern harus disebarluaskan ke seluruh lapisan sector produksi. Sebab menurut Furtado, hal itulah yang akan menjamin pemertaan distribusi pendapatan dan akhinya akan mengakhiri marjinalisasi rakyat. (Fakih, 2003:125).


2)      Cardoso dan Faletto (Dipengaruhi Marxist)
Ekonom negara Brasil yang turut pindah dari negerinya adalah Fernando Cordosa. Berbeda dengan Furtado, Cordosa lebih memilih pindah ke Chili dan bersama ilmuwan Chile bernama Enzo Faletto melakukan studi sosiologis dan histories tentang berbagai kasus ketergantungan suatu negara berkembang. Mereke memfokuskan studinya pada aspek sosio ppolitik. Mereka melihat pembangunan ekonomi sebagai campuran berbagai interes kelas dari waktu ke waktu. Keadaan ketergantungan ekonomi terhadap pasar dunia sangatlah krusial. Oleh sebab itu, situasi ketergantutngan terjadi dalam pola yang secara historis berubah.
Dalam pandangan Cardoso dan Faletto, negara-negara Amerika Latin setelah merdeka dari Spanyol dan Portugal, kekuasan politik telah dibiaskan oleh aliansi antara kekuasaan politik modern, sector agraris komersial, dan ekonomi old hacienda (Fakih, 2003:127). Selanjtunya, bagi Cardoso persoalan pembangunan yang ada di dunia sekarang tidak dapat dibatasi hanya pada pembahasan industri substitusi impor, atau hanya sejedar memperdebatkan strategi pertumbuihan dalam bentuk pilohan antara orientasi ekspor atau impor, pasar domestic atau pasar dunia. Persoalannya justru terletak pada ada atau tidaknya gerakan kerakyatan dan kesadaran kepentingan politik rakyat. Oleh karena itu, dalam pandangan Cardoso, yang perlu diperhatikan adalah justru usaha-usaha untuk membangkitkan gerakan kerakyatan, perjuangan kelas, perumusan kembali kepentingan politik, dan pembanguan aliansi politik yang diperlukan untuk menjaga struktur masyarakat, tetapi sekaligus juga membuka peluang adanya transformasi social (So, 2000:135).
Aliran ketergantungan muncul dari pertemuan dua kecenderungan intelektual utama: satu berlatarbelakang tradisi Marxis, yang selanjutnya mengandung beberapa orientasi teoretis: Marxisme klasik, Marxisme-Leninisme, neo-Marxisme; yang lainnya berakar pada diskusi pemikiran strukturalis Amerika Latin tentang pembangunan, yang akhirnya membentuk tradisi CEPAL. Konsep neo-Marxisme mencerminkan tranformasi pemikiran Marxis dari pendekatan tradisional, yang menekankan konsep pembangunan dan pada dasarnya berpandangan Eropasentris, ke pendekatan baru, yang menekankan konsep keterbelakangan dan mencerminkan pandangan Dunia Ketiga.
• Marxisme (seperti yang ditafsirkan oleh Lenin), memandang imperialisme dalam perspektif pusat; neoMarxisme, sebaliknya, memandang imperialisme dari sudut pandang pinggiran.
• Analisis Marxis tentang kelas secara spesifik didasarkan pada pengalaman Eropa dan menekankan misi emansipatoris kaum proletariat industri, sementara kelompok neo-Marxis memiliki pandangan yang jauh lebih terbuka mengenai potensi revolusioner kelompok-kelompok lain, misalnya petani.
• Kubu Marxis mempertahankan penekanan yang deterministik pada kondisi-kondisi obyektif Kaum neo-Marxis melihat kemungkinan memulai sebuah revolusi dengan optimisme yang lebih besar dan menekankan peranan faktor subyektif.
• Marxisme masih menampakkan jejak-jejak optimisme pembangunan abad ke-19 dan menganggap konsep kelangkaan sebagai suatu rekaan borjuis yang bertujuan mengabsahkan ketimpangan ekonomi. Kaum neo-Marxis mengintegrasikan kesadaran ekologi yang sedang berkembang dengan pandangan pembangunannya.
3) Dos Santos dan Marini (Dipengaruhi Neo-Marxisme)
Dos Santos adalah adalah ekonom yang turut pindah ke Santiago, Chili. Bersama Marini dia melakukan analisis dan mengenalkan istilah baru terhadap pemikiran pebanguan ekonomi pada saat itu. Istilah yang dia keluarkan adalah “the new dependence” sebagai bentuk kritik terhadap kesalahan kebijakan substitusi impor. Menurut Dos Santos, rakyat Amerika Latin pada dasarnya menjadi bagian dari system kapitalis dunia. Dari segi sejarah perkembangan, Dos Santos menganalisis tiga macam bentuk dependensia. Pertama, ketergantungan colonial yang ditandai oleh monopoli perdagangan yang dilengkapi denfan monopoli tanahm tambang, dan tenaga kerja di negara jajahan. Kedua, ketergantungan finasial yang ditandai dengan konsentrasi keuangan di centre dan investasi modal di negara periphery. Dan ketiga, adalah ketergantungan industri teknologi yang ditandai dengan munculnya perusahaan multinasional (Fakih, 2003:129). Bagi Dos Santos, hubungan antara negara dominant dengan negara tergantung merupakan hubungan yang tidak sederajat, karena pembangunan di negara dominant terjadi atas biaya yang dibebankan pada negara tergantung (So, 2000:98).
4) Gundre Frank (Penggerak Teori Dependensia)
Andre Gundre Frank bergabung dengan lingkaran penganut teori dependensia pada tahun 1960-an, dan dialah yang menjadi motor penggerak perkembangan teori ini. Karena, dia menjadi terkenal secara internasioal setelah berhasil menyebarluaskan teori tersebut di kalangan akademis negara-negara berbahasa Inggris. Analisis Frank menekankan pada penggunaan surplus ekonomi yang menjadi sebab dari underdevelopment (keterbelakangan). Bagi Frank, system kapitalis dunia ditandai oleh struktur monopolis-satelite dimana metropolis mengeksploitasi satellite. Satelite cenderung semakin didominasi oleh metropolis dan semakin tergantung (Fakih, 2003:130). Bagi Frank, proses pengambilan surplus ekonomi secara nasional dan global serta terarah dapat menyebabkan keterbelakangan di negara dunia ketiga. Frank telah memberikan empat rumusan untuk menguji pembangunan di negara dunia ke tiga, yaitu:
Pertama, berlawanan dengan perkembangan yang terjadi pada metropolis dunia, yang tidak memiliki kota satellite sama sekali, pembangunan yang terjadi di metropolis nasional dan kota-kota yang lebih kecil dibawahnya akan dibatasi oleh status kesatelitannya. Kedua, negara satellite akan mengalami pembangunan ekonomi yang pesat apabila ketika mereka memiliki ubungan dan keterkaitan yang terendah intensitasnya dengan metropolis di Barat. Ketiga, ketika metropolis bangkit dari krisisnya dan membangun kembali hubungan perdagangan dan investasinya, yang kemudian mengakibatkan adanya proses inkoporasi kembali dunia ketiga ke dalam system hubungan kapitalis internasional, proses industrialisasi yang telah terjadi pada negara-negara satellite ini akan di tarik dan diekspolitir kembali ke dalam hubungan global tersebut. Keempat, daerah-daerah paling terbelakang dan paling feudal sekarang ini adalah daeragh-daerah yang memiliki derajat hubungan dan keterkaitan sangan dekat dengan metropolis di masa lampau (So, 2000:97).
Esensi Teori Dependensia
      Secara garis besar yang dimaksud dengan dependensia adalah suatu keadaan dimana kepututsan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau lembaga di luar negara yang bersangkutan (Nasution, 2002:44).
      Secara filosofis, teori dependensia menghendaki untuk meninjau kembali pengertian pembangunan. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktifitas. Dalam pandangan teori dependensia, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di negara dunia ketiga. Oleh karenanya, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dialksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas, menurut teori depensia tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan yang sebenarnya (So, 2000:104).
      Setidaknya ada lima asumsi dasar sebagai esensi dari teori dependensi ini, yaitu:
1)      Keadaaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketita. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di dunia ketiga sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme dari abad ke 16 sampai sekarang.
2)      Ketergantungan dilihat sebagai sebagai kondisi yang diakibatkan oleh faktor luar. Sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada personal kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat berwiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawa terhadap kemandegan pembangunan di Negara dunia ketiga.
3)      Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi daru negara dunia ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi karena negara dunia ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
4)      Situasi ketergantungasn merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Di satu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari dunia ketiga menyebabkan keterbelakangannya, sementara hal yang sama merupakan salah satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan di negara maju.
5)      Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensia, pembanguan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit proses perkembangan dapat saja terjadi di negara pinggiran ketika misalnya sedang terhadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Dalam pandangan teori dependensia, pembanguna yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi perpindahan surplus ekonomi ke negara maju (So, 2000:103).
Jenis-jenis Pendekatan Ketergantungan
Mengingat asal-usul intelektual yang kompleks dari gagasan ketergantungan, termasuk Marxisme (atau lebih tepatnya Marxisme-Leninisme), neo-Marxisme dan strukturalisme Amerika Latin, tentu saja ada beberapa konseptualisasi yang bisa dipilih. Semua pendekatan tersebut berbeda dalam gaya, penekanan, orientasi disiplin, dan preferensi ideologis, namun mereka sama-sama memiliki gagasan dasar mengenai pembangunan dan keterbelakangan sebagai proses yang saling terkait. Perspektif ini, yang benar-benar keluar dari paradigma modernisasi, cukup jelas dalam definisi yang dibuat oleh Dos Santos berikut ini.
Ketergantungan merupakan situasi "yang mengkondisikan", yang di dalamnya ekonomi sekelompok negara ditentukan oleh pembangunan dan perkembangan kelompok lain. Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih sistem perekonomian, atau antara perekonomian itu dan sistem perdagangan dunia, menjadi hubungan ketergantungan bila beberapa negara dapat berkembang hanya sebagal bayangan perkembangan negara dominan, yang mungkin memiliki pengaruh positif atau negatif pada pembangunan mereka berikutnya. (Dos Santos, dikutip Hettne, 2001:157)
Cardoso membandingkan posisi ini dengan narodniks Rusia, yang menyatakan bahwa kapitalisme di akhir abad ke-19 merupakan hal yang mustahil karena pasar dalarn negeri yang terbatas. Bertolak-belakang dengan posisi ini, Lenin berpendapat bahwa pernbangunan kapitalis merupakan proses yang kontradiktif, ditandai dengan ketegangan sosial dan perusakan. Namun, ini tidak mernbuat kapitalisme mustahil di Rusia. Menurut Cardoso, pun pernbangunan kapitalis (kendati dalam bentuk yang bergantung) bukan hal yang mustahil di Arnerika Latin.
      Selanjutnya Hettne memberikan beberapa jenis pendekatan dependensia yang ia simpulkan dari beberapa tokoh penggagas teori dependensia yang sudah disingung di atas. Pendekatan-pendekatan itu adalah:
Holisme versus partikularisme. Pada dimensi ini, dipertentangkan dua kubu pemikiran: mereka yang bekerja dengan model global, dinamika yang ditentukan oleh sistem keseluruhan; dan mereka yang membangun perspektif menyeluruh mulai dari unsur pembentuknya. Misalnya, model kapitalisme transnasional Sunkel memiliki ambisi holistik, sedangkan pandangan Cardoso mengenai ketergantungan sebagai sebuah metode analisis konkret bagi kawasan pinggiran lebih bersifat partikularistik.
Faktor kausal eksternal versus faktor kausal internal. Kenyataan bahwa keduanya sulit dibedakan, bukan merupakan persoalan kita di sini. Persoalannya adalah, faktor manakah yang lebih penting? Tentu saja, dependentista tidak akan mengaku bahwa mereka mengabaikan faktor internal, namun demikian seluruh pendekatan mereka memiliki bias eksternalis (seperti digambarkan oleh model metropolis-satelit Frank). Bagaimanapun, hal ini merupakan keberatan utama terhadap teori modernisasi.
Analisis sosial-politik versus analisis ekonomi. Beberapa ilmuwan bekerja secara eksklusif dengan analisis ekonomi; yang lain menekankan kondisi sosial dan politik. Kendati hal ini dapat dijelaskan berdasarkan asal usul ilmu, namun perbedaannya penting untuk model analisis. Pada dasarnya tradisi CEPAL lebih ekonomistis, sedangkan banyak dependentista, seperti yang dicatat di atas, berasal dari ilmu sosial lainnya, misalkan sosiologi.
Kontradiksi sektoral regional versus kontradiksi kelas. Beberapa penulis menekankan kenyataan bahwa polarisasi regional atau sektoral terjadi dalam sistem yang menyeluruh, baik pada tingkat internasional maupun tingkat nasional; yang lainnya mendasarkan analisis mereka pada. asumsi bahwa konflik yang mendasar niscaya ditemukan dalam pertentangan kelas. Dengan kata lain, pandangan kedua mencari dinamika di dalam perjuangan kelas. Misalnya, dalam model dualisme globalnya, Sunkel menekankan pernilahan antara kawasan marjinal dan pusat transnasional (bagian kawasan pusat yang menyatukan, bagian dari pinggiran). Pemilahan ini menembus kelas-kelas, dengan demikian menentang kesadaran kelas dan perjuangan kelas. Sebaliknya, Cardoso lebih memberikan penekanan pada kelas, namun analisisnya cukup tajam, jauh melampaui dikotomi sederhana majikan buruh dan posisi resmi komunis. Namun, secara keseluruhan, sangat sedikit analisis kelas pada hampir semua tulisan aliran ketergantungan.
Keterbelakangan versus pembangunan yang tergantung. Argumen utama aliran ketergantungan adalah bahwa situasi ketergantungan menghasilkan proses keterbelakangan. Namun, sebagian mengambil sikap yang lebih berhati-hati, dengan mengklaim bahwa kecenderungan stagnasi merupakan persoalan yang berulang, dan bahwa pembangunan kapitalisme sepenuhnya sesuai dengan posisi ketergantungan. Posisi ketergantungan yang kuat dirumuskan oleh Frank dengan ungkapan "pembangunan keterbelakangan” (development of underdevelopment). Posisi yang lebih berhati-hati adalah gagasan Cordoso tentang "pembangunan yang terkait dan tergantung" (associated-dependent development).
Voluntarisme versus determinisme. Mayoritas besar ilmuwan ketergantungan beranggapan bahwa secara politis penelitian mereka relevan. Namun, dapat dibedakan antara mereka yang menganggap perangkat politik dibatasi oleh situasi obyektif, dan mereka yang menekankan kemungkinan mengatasi batasan ini melalui aksi politik langsung. Sikap yang terakhir jelas terkait dengan gagasan bahwa Amerika Latin (dan Dunia Ketiga) ditakdirkan terbelakang dan bahwa aktivitas politik merupakan satu-satunya jawaban atas situasi tersebut. Aktivisme ini mengambil bentuk perjuangan gerilya dan modelnya diambil dari revolusi Kuba. Akibatnya, mereka yang mengakui adanya kemungkinan pembangunan, kendati mengikuti jalur kapitalis, mengambil posisi di tengah-tengah antara cara pandang komunis resmi dan voluntaris ekstrem.



MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK



1. Konsep Pelayanan Publik
                Pelayanan publik semula dipahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik. Namun ketika telah terjadi perubahan peran pemerintah dan lembaga non-pemerintah dalam penyelenggaraan layanan yang menjadi hajat hidup orang banyak dalam era sekarang ini maka definisi pelayanan publik seperti yang telaha disebutkan diatas perlu dipikirkan kembali.
            Munculnya gerakan New Publik Management (NPM) dinegara-negara maju telah menimbulkan tekanan terhadap praktek penyelenggaraan terhadap layanan publik dinegara-negara tersebut. Keinginan untuk melakukan tranformasi praktik manajemen pelayanan publik dengan mengadopsi nilai-nilai yang selama ini berkembang disektor bisnis, seperti entrepreneurship, kepedulian pada pengguna, serta orientasi pada revenuegenerating dan penghasilan, telah mendorong terjadinya perubahan yang sangat berarti dalam praktek penyelenggaraan layanan publik (Osborne & Gaebler,1992; Felie, dkk., 1996; Osborn & Plastrik, 1997; Kettl, 2000)
            Untuk mengembangkan semangat dan nilai-nilai kewirausahaan, manajer disektor publik dituntut untuk merubah pola pikir dari yang semula sebagai manajer birokrasi pemerintah menjadi wirausaha. Seorang manajer birokrasi sekarang ini dituntut tidak hanya melayani warganya dengan menghabiskan anggaran pemerintah, tetapi apabila memungkinkan juga mencari sumber penerimaan dan penghasilan bagi pemerintah.
            Pemerintah Indonesia yang tertarik dengan pemikiran NPM mendorong aparaturnya untuk mempelajari NPM dengan mengadakan serangkaian lokakarya dan seminar tentang NPM dan Reinventing Government. Nilai-nilai yang terkandung dalam NPM kebetulan tumbuh dengan kebutuhan daerah untuk mengembangkan sumber penerimaan serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas, terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah.
            Penyelenggaraan otonomi daerah sering dipahami oleh pemangku kepentingan didaerah sebagai pemberian ruang bagi daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah (Dwiyanto, dkk., 2003a). sehingga banyak daerah berusaha mengembangkan sumber-sumber penerimaan baru. Seperti dengan menerapkan tarif baru retribusi pelayanan yang diselenggarakan oleh daerah seperti pelayanan kesehatan (puskesmas & RSUD), pendidikan, air minum, pelayanan perizinan dan sebagainya. Banyak pemerintah daerah yang mengembangkan badan usaha milik daerah dan mengoptimalkan UPT yang mereka miliki untuk mencari penghasilan bagi pemerintah daerah. Semua daerah mencoba mengembangkan berbagai badan usaha dan UPT untuk memproduksi barang dan atau jasa yang dahulunya termasuk dalam ranah privat dan hanya diselenggarakan oleh korporasi atau perusahaan swasta.
            Transformasi juga terjadi dalam rannah korporasi. Korporasi menjadi tidak hanya memproduksi barang privat tetapi juga barang dan jasa semi publik serta barang dan jasa yang sebelumnyamerupakan domain pemerintah untuk memproduksi dan menyediakannya. Banyak orang kaya, korporasi, dan lembaga non-pemerintah yang menyediakan barang publik, seperti perpustakaan, taman, pendidikan, riset, dan sebagainya.
            Melihat adanya pergeseran peran pemerintah korporasi, dan satuan sosial ekonomi lainnya dalam penyelenggaraan layanan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat maka mendefinisikan pelayanan publik sebagai pelyanan pemerintah menjadi tidak lagi tepat dan dapat menyesatkan.
             Pelayanan publik sebenarnya memiliki kisaran yang sangat luas, yaitu mencangkup pelayanan untuk memenuhi kebutuhan barang publik, kebutuhan dan hak dasar, kewajiban pemerintah dan negara, dan komitmen nasional. Pelayanan yang meskipun diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau oleh badan usaha milik negara dan daerah, atau oleh institusi lainnya yang anggarannya berasala dari APBN atau APBD namun tidak digunakan untuk memenuhi salahsatu dari keempat kriteria diatas tidak dapat dikatakan sebagai pelayanan publik.
            Lembaga non pemerintah dapat menjadi lembaga penyelenggara layanan publik apabila mereka berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebaliknya, instansi pemerintah yang tidak terlibat pelayanan publik tidak dapat disebut sebagai lembaga penyelenggara layanan publik.
Ciri-ciri
Pelayanan publik
Pelayanan privat
Sifat barang dan jasa

Barang publik, barang semi publik, dan memiliki eksternalitas
Barang privat

Resiko kegagalan penyelenggaraan
Resiko kolektif, banyak orang, bersama
Kerugian perseroan

Akses warga terhadap pelayanan
Tanggung jawab Negara
Tanggung jawab warga
Keterkaitan dengan pencapaian penyeleng -garaan tujuan dan misi Negara
Tinggi dan langsung


Rendah dan tidak langsung
Dasar penyelenggaraannya
Konstitusi, kebijakan publik, dan peraturan perundangan
Kesepakatan pengguna dan penyelenggaraan, kebijakan perusahaan
Lembaga penyelenggara
Instansi pemerintah dan non- pemerintah
Kesepakatan pengguna dan penyelenggara, kebijakan  perusahaan
Sumber pembiayaan
Anggaran, subsidi pemerintah, user fee
Kekayaan Negara yang dipisahkan, Hasil penjualan dan user fee


2. Globalisasi, Desentralisasi, dan Pelayanan Publik          
Selama beberapa dekade terakhir ini system pelayanan public di Indonesia mengalami banyak tekanan dan sekaligus tantangan baru sejalan dengan semakin menguatnya persaingan global. Globalisasi telah memperluas arena kompetisi antar penyelengara layanan public dengan mendorong terjadinya kompetisi global. Penyelenggaraan layanan publik di suatu Negara, atau daerah,harus dapat berkompetensi dengan penyelenggara layanan public dari Negara lain yang selama ini cenderung lebih efisien, efektif, dan responsif. Untuk merespon tekanan globalisasi tersebut, banyak Negara termaksuk Indonesia,berusaha melaksanakan serangkaian kebijakan untuk mereformasi sistem pelayanan publik, seperti debirokratisasi, privatisasi, dan desentralisasi
Debirokratisasi dilakukan bukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan layanan publik, tetapi untuk membuat keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan layanan menjadi semakin efisien, tepat sasaran, dan fokus pada misinya. Debirokratisasi dilakukan untuk mendorong birokrasi pemerintah kembali kepada misi utamanya, yaitu menjamin akses warga terhadap pelayanan dasar, kebutuhan kolektivitas, dan pelayanan strategi lainya yang sangat penting agar warganya dapat hidup secara layak dan bermartabat.
Privatisasi dilakukan untuk memberikan ruang yang lebih besara kepada sector swasta terlibat dalam penyelengaraan layanan public (Savas, 1987: 3;Stiglitz, 2000: 12). Sejalan dengan kebijakan debirokratisasi, privatisasi dilakukan agar semakin banyak pelaku dipasar yang dapat terlibat dalam penyelengaraan layanan publik. Keterlibatan swasta dan lembaga non-pemerintah lainya dalam penyelenggaraan layanan public akan memberikan banyak manfaat. Pertama, keterlibatan swasta dapat menjadi salah satu alternative penyelenggaraan layanan publik. Kedua, keterlibatan swasta dapat membuat varietas pelayanan piblik menjadi semakin banyak dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga, keterlibatan swasta penting untuk mendorong perbaikan daya saing dari birokrasi pemerintah.
Pada aras yang berbeda, desentralisasi juga memberikan tekanan kepada sisitem pelayanan publik karena mengubah lingkungan dan struktur kelembagaan penyelengaraan layanan publik. Desentralisasi juga telah mendorong kecenderungan daerah untuk melakukan lokalisasi pelayanan publik, dengan berusaha membatasi akses warga dari luar daerah untuk mengunakan pelayanan publik yang ada. Lokalisasi seperti itu dengan mudah dapat dipahami karena masing-masing daerah ingin membatasi eksternalitas positif dan pelayanan pendidikan yang diselenggarakan. Desentralisasi juga telah mendorong menguatnya unsur-unsur subjektif dalam penyelenggaraan layanan public (Dwiyanto, 2003a dan 2007). Karena telah lama terkungkung dalam sistem pemerintahan sentralisasi yang menghalangi sistem pelayanan public untuk merespon nilai-nilai dan tradisi lokal, daerah pada akhirnya cenderung mengembangkan miskonsepsi terhadap desentralisasi dengan memahaminya sebagai peluang dan kewenangan daerah untuk melokalisasi sistem pelayanan publik (Dwiyanto, 2003a). Namun, desentaralisasi juga memberikan banyak kabar baik. Salah satunya yaitu proses pengalihan kewenangan dan urusan ke daerah tidak menimbulkan kekacauan dalam penyelenggaraan layanan publik. Desentralisasi juga mendorong partisipasi warga dalam pengambilan keputusan menjadi semakin tinggi. Ketika keputusan tenteng pelayanan diambil pada tingkat pemerintah yang lebih rendah maka akses warga untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan menjadi semankin besar.

3. Standart Pelayanan Publik
Standart pelayanan perlu mengatur aspek input, prose, dan output pelayanan. Input pelayanan penting untuk distandarisasi mengingat kuantitas dan kulitas dari input pelayanan yang berbeda antar daerah menyebabkan sering terjadinya ketimpangangan akses terhadap pelayanan yang berkualitas.Tentu tidak adil ketika pemerintah menetapkan standart output dalam pendidikan nasional yang berlaku di seluruh Indonesia, sementara pemerintah gagal menjamin adanya standart input yang sama antar daerah. Standart proses pelayanan juga penting untuk diatur. Namun pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati agar standart proses pelayanan tidak mencegah atau membatasi kreativitas lokal dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Standart proses sebaiknya hanya mengatur perinsip dasar penyelenggaraan layanan, yaitu: penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintah yang baik (Dwiyanto, dkk.,2006). Standart proses dirumuskan untuk menjamin pelayanan public di daerah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan yang transparan, non-partisan, efisien, dan akuntabel. Standart  transparansi, misalnya, mengatur kewajiban penyelenggaraan layanan untuk menyediakan informasi dan menjelaskan kepada warga pengguna layanan mengenai persyaratan, prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayan. Prosedur biyasanya hanya mengatur kewajiban dari pengguna dan mengabaikan hak-hak mereka. Dalam pendidikan, standart output yang paling bisa digunakan adalah standart kelulusan sisiwa yang sementara ini diukur dari nilai murni akhir ujian nasional. Standart output harus menjadi benchmark bagi setiap penyelenggaraan layanan untuk menilai apakah mereka sudah dapat memenuhi standart yang telah ditentukan ataukah belum. Penentuan standart harus memperhatikan tujuan dan nilai yang ingin diwujudkan dalam penyelenggaraan layanan sekaligus kapasitas daerah untuk mewujudkannya.

4. Struktur Kelembagaan Pengelolaan Layanan Publik
            Penyelenggaraan layanan public melibatkan lembaga di semua tingkat pemerintah, yaitu pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi telah mengalihkan sebagian besar urusan eksekutif dalam bidang luar negeri, moneter, pertehanan, agama, dan kehakiman. Selebihnya dialihkan sebagai urusan daerah, yang kemudian terbagi menjadi urusan propinsi dan kabupaten/kota, pada dasarnya semua tingkat pemerintahan memiliki keterlibatan dalam menyelenggarakan layanan public yang menyangkut semua urusan konkuren. Kegagalan dalam pembagian urusan sering menimbulkan duplikasi kekosongan, dan konflik peran antar pelaku dan pemangku kepentingan. Duplikasi pelayanan sering terjadi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam berbagi bidang layanan public. Konflik antar susunan dan tingkat pemerintah juga sering terjadi dalam penyelenggaraan layanan terutama untuk pelayanan dan urusan pemerintah yang memiliki efek terhadap penghasilan daerah. Sisitem pelayanan public harus mampu memperjelas peran dan mendorong para pihak untuk dapat memainkan perannya masing-masing secara sinergis dan terintegrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
            Pembagian peran antar susunan dan tingkat pemerintah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 “dari sisi proses, penyelengaraan peran dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok peran yaitu pembuatan kebijakan dan regulasi, pemberian layanan, serta pengawasan, pembinaaan, dan penegakan peraturan. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
            Ilustrasi tentang pembagian peran dalam penyelenggaraan layanan public berikut disajikan contoh pembagian peran dalam menyelengaraan layanan pendidikan.
Kegiatan
PAUD
TK
SD
SMP
SMA
SMK
UNIVERSITAS
XSPK
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Pusat
Pelayanan
Kab/Kota
Kab/Kota
Kab/Kota
Kab/Kota
Kab/Kota
Kab/Kota
Kab/Kota
Binwas
GWP
GWP
GWP
GWP
GWP
Depdiknas
Depdiknas
Keterangan : GWP adalah Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Penggunaan Lembaga Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi Binwas terhadap penyelenggaraan layanan publik di daerah dapat menghindari kesan terjadinya sentralisasi. Hal ini penting untuk menghindariadanya kerancuan antara kegiatan gubernur dalam rangka menjalankan fungsi Binwas sebagai wakil dan atas nama pemerintah pusat sekarang ini terjadi karena dalam menjalankan fungsi itu gubernur tidak memiliki perangkat dan anggaran daerah (provinsi). Kerancauan juga muncul karena pembagian urusan antara pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota belum dapat dilakukan secara jelas.
Pilihan untuk memanfaatkan keberadaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat lebih banyak manfaatnya untuk dipilih dengan catatan pilihan itu diikuti oleh dukungan personel dan anggaran yang jelas dari pemerintah pusat. Pilihan ini juga dapat mendorong terjadinya intergrasi dan sinergi kegiatan pelayanan di daerah karena gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui fungsi Binwas lebih mudah dalam mengintergrasikan kegiatan pelayanan publik di daerah,daripada fungsi itu dilakukan oleh Kementrian yang sudah sangat terfragmentasi secara kelembagaan.
Permasalahan yang terjadi sekarang ini adalah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memang diberi peran untuk melakukan Binwas,namun tidak diikuti dengan ketentuan yang jelas tentang sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tersebut,baik terkait dengan personel ataupun anggaran. Akibatnya,gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sering harus menggunakan sumberdaya daerah. Penggunaan sumberdaya daerah disamping merugikan pemerintah provinsi juga menimbulkan kerancauan dalam hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,karena sama-sama sebagai daerah otonom keduanya tidak memiliki hubungan hirarkis.
Kendala lainnya muncul dari ketidakjelasan hubungan antara daerah dalam penyelenggaraan layanan publik dengan kementrian sektoral. Pengaruh ini bahkan dilakukan dengan mendorong daerah untuk mengembangkan siruklur kelembagaan mengikuti ang ada di pemerintah pusat (kabinet). Setiap kementrian mendorong provinsi dan kabupaten/kota untuk memiliki satuan birokrasi yang dapat menjadi mitra mereka dalam melaksanakan program-program kementriannya. Daerah yang tidak memiliki satuan birokrasi yang dapat menjadi mitra mereka,yaitu tidak memiliki fungsi dan bahkan nomenklatur yang sama,tidak akan dapat memperoleh DAK dan dana dekonsentrasi. Akibatnya,daerah cenderung mengembangkan satuan-satuan birokrasi dengan menggunakan nomenklatur seperti yang ada di pemerintahan pusat.
Jika pengaruh dan hubungan kelembagaan antara kementrian sektoral dengan pemerintahan kabupaten/kota tidak dibenahidan tetap dipertahankan sebagaimana yang terjadi sekarang maka pemberdayaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak akan dapat dilakukan secara efektif. Konflik baru akan muncul antara kementrian dengan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur dapat menjadi budget optimzer untuk mensinergikan antara tujuan pebangunan dari pemerintah pusat dengan kebutuhan daerah. Apabila hal ini dapat dilakukan maka dampaknya terhadap sinergisitas pembangunan nasional dan perbaikan efisiensi akan sangat berarti.



















Daftar Pustaka