1. Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan publik semula dipahami secara
sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang
dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan
publik. Namun ketika telah terjadi perubahan peran pemerintah dan lembaga
non-pemerintah dalam penyelenggaraan layanan yang menjadi hajat hidup orang
banyak dalam era sekarang ini maka definisi pelayanan publik seperti yang
telaha disebutkan diatas perlu dipikirkan kembali.
Munculnya
gerakan New Publik Management (NPM) dinegara-negara maju telah menimbulkan
tekanan terhadap praktek penyelenggaraan terhadap layanan publik
dinegara-negara tersebut. Keinginan untuk melakukan tranformasi praktik manajemen
pelayanan publik dengan mengadopsi nilai-nilai yang selama ini berkembang
disektor bisnis, seperti entrepreneurship, kepedulian pada pengguna, serta
orientasi pada revenuegenerating dan penghasilan, telah mendorong terjadinya
perubahan yang sangat berarti dalam praktek penyelenggaraan layanan publik
(Osborne & Gaebler,1992; Felie, dkk., 1996; Osborn & Plastrik, 1997;
Kettl, 2000)
Untuk
mengembangkan semangat dan nilai-nilai kewirausahaan, manajer disektor publik
dituntut untuk merubah pola pikir dari yang semula sebagai manajer birokrasi
pemerintah menjadi wirausaha. Seorang manajer birokrasi sekarang ini dituntut
tidak hanya melayani warganya dengan menghabiskan anggaran pemerintah, tetapi
apabila memungkinkan juga mencari sumber penerimaan dan penghasilan bagi
pemerintah.
Pemerintah
Indonesia yang tertarik dengan pemikiran NPM mendorong aparaturnya untuk
mempelajari NPM dengan mengadakan serangkaian lokakarya dan seminar tentang NPM
dan Reinventing Government. Nilai-nilai yang terkandung dalam NPM kebetulan
tumbuh dengan kebutuhan daerah untuk mengembangkan sumber penerimaan serta
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, terkait dengan penyelenggaraan
otonomi daerah.
Penyelenggaraan
otonomi daerah sering dipahami oleh pemangku kepentingan didaerah sebagai
pemberian ruang bagi daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah
(Dwiyanto, dkk., 2003a). sehingga banyak daerah berusaha mengembangkan
sumber-sumber penerimaan baru. Seperti dengan menerapkan tarif baru retribusi
pelayanan yang diselenggarakan oleh daerah seperti pelayanan kesehatan
(puskesmas & RSUD), pendidikan, air minum, pelayanan perizinan dan
sebagainya. Banyak pemerintah daerah yang mengembangkan badan usaha milik
daerah dan mengoptimalkan UPT yang mereka miliki untuk mencari penghasilan bagi
pemerintah daerah. Semua daerah mencoba mengembangkan berbagai badan usaha dan
UPT untuk memproduksi barang dan atau jasa yang dahulunya termasuk dalam ranah
privat dan hanya diselenggarakan oleh korporasi atau perusahaan swasta.
Transformasi
juga terjadi dalam rannah korporasi. Korporasi menjadi tidak hanya memproduksi
barang privat tetapi juga barang dan jasa semi publik serta barang dan jasa
yang sebelumnyamerupakan domain pemerintah untuk memproduksi dan
menyediakannya. Banyak orang kaya, korporasi, dan lembaga non-pemerintah yang
menyediakan barang publik, seperti perpustakaan, taman, pendidikan, riset, dan
sebagainya.
Melihat
adanya pergeseran peran pemerintah korporasi, dan satuan sosial ekonomi lainnya
dalam penyelenggaraan layanan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat
maka mendefinisikan pelayanan publik sebagai pelyanan pemerintah menjadi tidak
lagi tepat dan dapat menyesatkan.
Pelayanan publik sebenarnya memiliki kisaran
yang sangat luas, yaitu mencangkup pelayanan untuk memenuhi kebutuhan barang
publik, kebutuhan dan hak dasar, kewajiban pemerintah dan negara, dan komitmen
nasional. Pelayanan yang meskipun diselenggarakan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, atau oleh badan usaha milik negara dan daerah, atau oleh institusi
lainnya yang anggarannya berasala dari APBN atau APBD namun tidak digunakan
untuk memenuhi salahsatu dari keempat kriteria diatas tidak dapat dikatakan
sebagai pelayanan publik.
Lembaga
non pemerintah dapat menjadi lembaga penyelenggara layanan publik apabila
mereka berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebaliknya,
instansi pemerintah yang tidak terlibat pelayanan publik tidak dapat disebut
sebagai lembaga penyelenggara layanan publik.
Ciri-ciri
|
Pelayanan publik
|
Pelayanan privat
|
Sifat barang dan
jasa
|
Barang publik,
barang semi publik, dan memiliki eksternalitas
|
Barang privat
|
Resiko kegagalan penyelenggaraan
|
Resiko kolektif, banyak orang, bersama
|
Kerugian perseroan
|
Akses warga terhadap
pelayanan
|
Tanggung jawab
Negara
|
Tanggung jawab warga
|
Keterkaitan dengan
pencapaian penyeleng -garaan tujuan dan misi Negara
|
Tinggi dan langsung
|
Rendah dan tidak
langsung
|
Dasar
penyelenggaraannya
|
Konstitusi,
kebijakan publik, dan peraturan perundangan
|
Kesepakatan pengguna
dan penyelenggaraan, kebijakan perusahaan
|
Lembaga
penyelenggara
|
Instansi pemerintah
dan non- pemerintah
|
Kesepakatan pengguna
dan penyelenggara, kebijakan
perusahaan
|
Sumber pembiayaan
|
Anggaran, subsidi
pemerintah, user fee
|
Kekayaan Negara yang
dipisahkan, Hasil penjualan dan user fee
|
2. Globalisasi, Desentralisasi, dan Pelayanan Publik
Selama
beberapa dekade terakhir ini system pelayanan public di Indonesia mengalami
banyak tekanan dan sekaligus tantangan baru sejalan dengan semakin menguatnya
persaingan global. Globalisasi telah memperluas arena kompetisi antar
penyelengara layanan public dengan mendorong terjadinya kompetisi global.
Penyelenggaraan layanan publik di suatu Negara, atau daerah,harus dapat
berkompetensi dengan penyelenggara layanan public dari Negara lain yang selama
ini cenderung lebih efisien, efektif, dan responsif. Untuk merespon tekanan
globalisasi tersebut, banyak Negara termaksuk Indonesia,berusaha melaksanakan
serangkaian kebijakan untuk mereformasi sistem pelayanan publik, seperti
debirokratisasi, privatisasi, dan desentralisasi
Debirokratisasi
dilakukan bukan untuk menghilangkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan
layanan publik, tetapi untuk membuat keterlibatan pemerintah dalam
penyelenggaraan layanan menjadi semakin efisien, tepat sasaran, dan fokus pada
misinya. Debirokratisasi dilakukan untuk mendorong birokrasi pemerintah kembali
kepada misi utamanya, yaitu menjamin akses warga terhadap pelayanan dasar,
kebutuhan kolektivitas, dan pelayanan strategi lainya yang sangat penting agar
warganya dapat hidup secara layak dan bermartabat.
Privatisasi
dilakukan untuk memberikan ruang yang lebih besara kepada sector swasta
terlibat dalam penyelengaraan layanan public (Savas, 1987: 3;Stiglitz, 2000:
12). Sejalan dengan kebijakan debirokratisasi, privatisasi dilakukan agar
semakin banyak pelaku dipasar yang dapat terlibat dalam penyelengaraan layanan
publik. Keterlibatan swasta dan lembaga non-pemerintah lainya dalam
penyelenggaraan layanan public akan memberikan banyak manfaat. Pertama,
keterlibatan swasta dapat menjadi salah satu alternative penyelenggaraan
layanan publik. Kedua, keterlibatan swasta dapat membuat varietas pelayanan
piblik menjadi semakin banyak dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga,
keterlibatan swasta penting untuk mendorong perbaikan daya saing dari birokrasi
pemerintah.
Pada
aras yang berbeda, desentralisasi juga memberikan tekanan kepada sisitem
pelayanan publik karena mengubah lingkungan dan struktur kelembagaan
penyelengaraan layanan publik. Desentralisasi juga telah mendorong
kecenderungan daerah untuk melakukan lokalisasi pelayanan publik, dengan
berusaha membatasi akses warga dari luar daerah untuk mengunakan pelayanan
publik yang ada. Lokalisasi seperti itu dengan mudah dapat dipahami karena
masing-masing daerah ingin membatasi eksternalitas positif dan pelayanan
pendidikan yang diselenggarakan. Desentralisasi juga telah mendorong menguatnya
unsur-unsur subjektif dalam penyelenggaraan layanan public (Dwiyanto, 2003a dan
2007). Karena telah lama terkungkung dalam sistem pemerintahan sentralisasi
yang menghalangi sistem pelayanan public untuk merespon nilai-nilai dan tradisi
lokal, daerah pada akhirnya cenderung mengembangkan miskonsepsi terhadap
desentralisasi dengan memahaminya sebagai peluang dan kewenangan daerah untuk
melokalisasi sistem pelayanan publik (Dwiyanto, 2003a). Namun, desentaralisasi
juga memberikan banyak kabar baik. Salah satunya yaitu proses pengalihan
kewenangan dan urusan ke daerah tidak menimbulkan kekacauan dalam
penyelenggaraan layanan publik. Desentralisasi juga mendorong partisipasi warga
dalam pengambilan keputusan menjadi semakin tinggi. Ketika keputusan tenteng
pelayanan diambil pada tingkat pemerintah yang lebih rendah maka akses warga
untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan menjadi semankin besar.
3. Standart Pelayanan Publik
Standart
pelayanan perlu mengatur aspek input, prose, dan output pelayanan. Input
pelayanan penting untuk distandarisasi mengingat kuantitas dan kulitas dari
input pelayanan yang berbeda antar daerah menyebabkan sering terjadinya
ketimpangangan akses terhadap pelayanan yang berkualitas.Tentu tidak adil
ketika pemerintah menetapkan standart output dalam pendidikan nasional yang
berlaku di seluruh Indonesia, sementara pemerintah gagal menjamin adanya
standart input yang sama antar daerah. Standart proses pelayanan juga penting
untuk diatur. Namun pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati agar
standart proses pelayanan tidak mencegah atau membatasi kreativitas lokal dalam
menyelenggarakan pelayanan publik. Standart proses sebaiknya hanya mengatur
perinsip dasar penyelenggaraan layanan, yaitu: penyelenggaraan pelayanan publik
harus memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintah yang baik (Dwiyanto, dkk.,2006).
Standart proses dirumuskan untuk menjamin pelayanan public di daerah memenuhi
prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan yang transparan, non-partisan, efisien,
dan akuntabel. Standart transparansi,
misalnya, mengatur kewajiban penyelenggaraan layanan untuk menyediakan
informasi dan menjelaskan kepada warga pengguna layanan mengenai persyaratan,
prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayan. Prosedur
biyasanya hanya mengatur kewajiban dari pengguna dan mengabaikan hak-hak
mereka. Dalam pendidikan, standart output yang paling bisa digunakan adalah
standart kelulusan sisiwa yang sementara ini diukur dari nilai murni akhir
ujian nasional. Standart output harus menjadi benchmark bagi setiap
penyelenggaraan layanan untuk menilai apakah mereka sudah dapat memenuhi
standart yang telah ditentukan ataukah belum. Penentuan standart harus
memperhatikan tujuan dan nilai yang ingin diwujudkan dalam penyelenggaraan
layanan sekaligus kapasitas daerah untuk mewujudkannya.
4. Struktur Kelembagaan
Pengelolaan Layanan Publik
Penyelenggaraan layanan public
melibatkan lembaga di semua tingkat pemerintah, yaitu pemerintah pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi telah mengalihkan
sebagian besar urusan eksekutif dalam bidang luar negeri, moneter, pertehanan,
agama, dan kehakiman. Selebihnya dialihkan sebagai urusan daerah, yang kemudian
terbagi menjadi urusan propinsi dan kabupaten/kota, pada dasarnya semua tingkat
pemerintahan memiliki keterlibatan dalam menyelenggarakan layanan public yang
menyangkut semua urusan konkuren. Kegagalan dalam pembagian urusan sering
menimbulkan duplikasi kekosongan, dan konflik peran antar pelaku dan pemangku
kepentingan. Duplikasi pelayanan sering terjadi antara pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota dalam berbagi bidang layanan public. Konflik antar
susunan dan tingkat pemerintah juga sering terjadi dalam penyelenggaraan
layanan terutama untuk pelayanan dan urusan pemerintah yang memiliki efek
terhadap penghasilan daerah. Sisitem pelayanan public harus mampu memperjelas
peran dan mendorong para pihak untuk dapat memainkan perannya masing-masing
secara sinergis dan terintegrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pembagian peran antar susunan dan
tingkat pemerintah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 “dari sisi proses,
penyelengaraan peran dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok peran yaitu
pembuatan kebijakan dan regulasi, pemberian layanan, serta pengawasan,
pembinaaan, dan penegakan peraturan. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis.
Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Ilustrasi tentang pembagian peran
dalam penyelenggaraan layanan public berikut disajikan contoh pembagian peran
dalam menyelengaraan layanan pendidikan.
Kegiatan
|
PAUD
|
TK
|
SD
|
SMP
|
SMA
|
SMK
|
UNIVERSITAS
|
XSPK
|
Pusat
|
Pusat
|
Pusat
|
Pusat
|
Pusat
|
Pusat
|
Pusat
|
Pelayanan
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Kab/Kota
|
Binwas
|
GWP
|
GWP
|
GWP
|
GWP
|
GWP
|
Depdiknas
|
Depdiknas
|
Penggunaan
Lembaga Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi Binwas
terhadap penyelenggaraan layanan publik di daerah dapat menghindari kesan
terjadinya sentralisasi. Hal ini penting untuk menghindariadanya kerancuan
antara kegiatan gubernur dalam rangka menjalankan fungsi Binwas sebagai wakil
dan atas nama pemerintah pusat sekarang ini terjadi karena dalam menjalankan
fungsi itu gubernur tidak memiliki perangkat dan anggaran daerah (provinsi).
Kerancauan juga muncul karena pembagian urusan antara pusat dengan provinsi dan
kabupaten/kota belum dapat dilakukan secara jelas.
Pilihan
untuk memanfaatkan keberadaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat lebih
banyak manfaatnya untuk dipilih dengan catatan pilihan itu diikuti oleh
dukungan personel dan anggaran yang jelas dari pemerintah pusat. Pilihan ini
juga dapat mendorong terjadinya intergrasi dan sinergi kegiatan pelayanan di
daerah karena gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui fungsi
Binwas lebih mudah dalam mengintergrasikan kegiatan pelayanan publik di
daerah,daripada fungsi itu dilakukan oleh Kementrian yang sudah sangat
terfragmentasi secara kelembagaan.
Permasalahan
yang terjadi sekarang ini adalah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat memang diberi peran untuk melakukan Binwas,namun tidak
diikuti dengan ketentuan yang jelas tentang sumberdaya yang diperlukan untuk
menjalankan fungsi tersebut,baik terkait dengan personel ataupun anggaran.
Akibatnya,gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sering harus menggunakan
sumberdaya daerah. Penggunaan sumberdaya daerah disamping merugikan pemerintah
provinsi juga menimbulkan kerancauan dalam hubungan antara pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota,karena sama-sama sebagai daerah otonom keduanya
tidak memiliki hubungan hirarkis.
Kendala
lainnya muncul dari ketidakjelasan hubungan antara daerah dalam penyelenggaraan
layanan publik dengan kementrian sektoral. Pengaruh ini bahkan dilakukan dengan
mendorong daerah untuk mengembangkan siruklur kelembagaan mengikuti ang ada di
pemerintah pusat (kabinet). Setiap kementrian mendorong provinsi dan
kabupaten/kota untuk memiliki satuan birokrasi yang dapat menjadi mitra mereka
dalam melaksanakan program-program kementriannya. Daerah yang tidak memiliki
satuan birokrasi yang dapat menjadi mitra mereka,yaitu tidak memiliki fungsi
dan bahkan nomenklatur yang sama,tidak akan dapat memperoleh DAK dan dana
dekonsentrasi. Akibatnya,daerah cenderung mengembangkan satuan-satuan birokrasi
dengan menggunakan nomenklatur seperti yang ada di pemerintahan pusat.
Jika
pengaruh dan hubungan kelembagaan antara kementrian sektoral dengan
pemerintahan kabupaten/kota tidak dibenahidan tetap dipertahankan sebagaimana
yang terjadi sekarang maka pemberdayaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
tidak akan dapat dilakukan secara efektif. Konflik baru akan muncul antara
kementrian dengan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur dapat
menjadi budget optimzer untuk mensinergikan antara tujuan pebangunan dari
pemerintah pusat dengan kebutuhan daerah. Apabila hal ini dapat dilakukan maka
dampaknya terhadap sinergisitas pembangunan nasional dan perbaikan efisiensi
akan sangat berarti.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar